Istishhab
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istishhab
termasuk dalam dalil hukum islam yang tidak disepakati penggunaannya di
kalangan ulama ushul. Metode istishhab digunakan oleh ulama yang menggunakanya
setelah mereka tidak dapat menyelesaikan masalah hukum melalui empat dalil
hukum yang disepakati, yaitu : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Secara bahasa istishhab
berarti mencari hubungan yaitu otoritas atau bukti tertentu, bebas dari
kewajiban, misalnya sesuatu itu diakui sampai dipastikan adanya pertentangan.
Sedangkan
menurut istilah yaitu menetapkan hukum yang berlaku pada masa
lalu untuk keberlakukan masa sekarang, karena tidak adanya pengetahuan yang
merubahnya.
Istishhab
telah
didefinisikan secara beragam, menurut beberapa ulama, menurut ulama Syaikh Muhammad Ridha Mudzaffar dari
kalangan Syi’ah
mengemukakan bahwa istishhab itu ialah Mengukuhkan yang pernah
ada,
Sedangkan
menurut Ibnu
Al-Hummam dari kalangan ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa istishhab ialah Tetapnya
sesuatu yang sudah pasti yang belum ada dugaan kuat tentang tiadanya.
Dari beberapa definisi diatas,
Dalam makalah ini kami akan menjelaskan mengenai istishhab secara global,
Untuk
penjelasan lebih lanjut mengenai
istishhab, pemakalah akan menguraikannya pada bab
selanjutnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Pengertian Istishhab
1.2.2
Kaidah dalam Istishhab dan Dasarnya
1.2.3
Bentuk-Bentuk Istishhab
1.2.4
Kehujjahan Istishhab
1.2.5 Pendapat
Ulama Tentang Istishhab
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Istishhab
Secara lughawi (
etimologi ) istishhab itu berasal dari kata istish-ha-ba ( اسصحب ) dalam shigat is-tif’al ( استفعال ), yang berarti استمرارالصحبة . Kalau kata الصحبة diartikan “ sahabat”
atau “teman”, dan diartikan “selalu”
atau “terus-menerus”, maka istishhab itu secara lughawi artinya adalah : “
selalu menemani” atau “ selalu menyertai.
Menurut istilah adalah
جَعْلُ
الْحُکْمِ الثَّابِتِ فِے الْمَاضِى بَاقِيًا إِلَى الْحَالِ لِعَدَمِ الْعِلْمِ
بِالْغَيْرِ
“ Menetapkan
hukum yang berlaku pada masa lalu untuk keberlakukan masa sekarang, karena
tidak adanya pengetahuan yang merubahnya”
Terdapat
beberapa rumusan yang berbeda dari ulama yang memberikan definisi istisshab,
diantaranya :
1.
Rumusan yang paling sederhana
dikemukakan oleh Syakh Muhammad Ridha Mudzaffar dari kalangan Syi’ah :
اِبْقَاءُ
مَاکَانَ
“
Mengukuhkan yang pernah ada.”
2.
Al-Syaukani dalam Irsyad al-Fuhul
mendefinisikan :
اِنَّ مَاثَبَتَ فِى الزَّمَانِ
الْمَاضِ فَالَاَصْلُ بَقَاؤُهُ فِى الزَّمَانِ الْمُسْتَقْبَلِ
“ Apa yang pernah berlaku secara tetap pada
masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang.”
3.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah memberikan
definisi :
اِشْتِخْدَامَةُاِثْبَاتِ مَاكَانَ
ثَابِتًاوَنَفْيُ مَاكَانَ مَنْفِيًّا
“ Mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan
dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.”
4.
Ibnu Al-Subki dalam kitab Jam’u
al-Jawami’ II memberikan definisi :
ثُبُوْتُاَمْرٍفِى الثَّانِى
لِثُبُوْتِهِ فِى الْاَوَّلِ لِفُقْدَانِ مَايَصْلُحُ لِلتَّخْيِيْرِ
“Berlakunya sesuatu pada waktu kedua karena
yang demikian pernah berlaku pada waktu yang pertama karena tidak ada yang
patut untuk mengubahnya.”
5.
Muhammad ‘Ubaidillah al-As’adi
merumuskan definisi :
إِبْقَاءُ حُکْمٍ ثَبَتَ بِدَلِيْلٍ
فِى الْمَاضِى مُعْتَبَرٌ فِى الْحَالِ حَتَّى يُوْجَدَدلِيْلٌ غَيْرُدَلِيْلِ
الْأَوَّلِ يُغَيِّرُ
“ Mengkuhkan hukum yang ditetapan dengan
sautu dalil pada masa lalu dipandang waktu ini sampai diperoleh dalil lain yang
mengubahnya”
6.
Definisi menurut Ibnu Al-Hummam dari
kalangan ulama Hanafiyah :
بَقَاءُ دَلِيْلٍ مُحَقِّقٍ لَمْ
يَظُنَّ عَدمُهُ
“Tetapnya sesuatu yang sudah pasti yang
belum ada dugaan kuat tentang tiadanya.”
7.
Menurut Asy Syatibi, istishhab adalah
segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang lampau, dinyatakan tetap
berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Definisi
yang pertama yang begitu pendek memberikan arti yang luas dan jelas, yaitu
mengukuhkan atau menganggap tetap berlaku apa yang pernah ada. Keadaan yang
pernah terjadi di masa lalu ada dua macam, yang pertama nafi yaitu dalam
keadaan tidak pernah ada sesuatu ( hukum ) atau kosong, yang kedua tsubut yaitu
dalam keadaan telah ( pernah ) ada sesuatu ( hukum )[1].
Dengan demikian berarti bahwa yang dahulunya “ belum pernah ada”, maka keadaan
“ belum pernah ada” itu tetap diberlakukan untuk masa berikutnya. Begitupula
jika di masa sebelumnya “ pernah ada”, maka keberadaannya tetap diberlakukan
untuk masa berikutnya.
Apabila
seorang mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau suatu pengolahan yang tidak
ditemukan nash-nya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, juga tidak dtemukan dalil
syara’ yang mengitlakkan hukumnya, maka hukumnya adalah boleh, berdasarkan
kaidah :
اَلْأَصْلُ
فِے الْأَشْيَاءِ اَلْاِبَاحَةُ
Artinya : “ Pangkal sesuatu itu
adalah kebolehan “
Yaitu
suatu keadaan, pada saat Allah SWT. Menciptakan segala sesuatu yang ada di muka
bumi ini secara keseluruhan. Maka selama tidak terdapat dalil yang menunjukan
atas perubahan dari kebolehannya, keadaan sesuatu itu dihukumi dengan sifat
asalnya.
Dan
apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum binatang, benda-benda,
tumbuh-tumbuhan, makanan dan minuman, atau suatu amal yang hukumnya tidak
ditemukan dalam suatu dalil syara’ maka hukumnya adalah boleh. Kebolehan adalah
pangkal ( asal ), meskipun tidak terdapat dalil yang menunjukan atas kebolehannya.
Dengan demikian pangkal sesuatu itu adalah boleh. Firman Allah dalam AL-Qur’an
هُوَالَّذِيْ
خَلَقَ لَڪُمْ مَا فِے الْأَ رْضِ جَمِيْعًا
Artinya :
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada
di bumi untuk kamu “ ( QS, Al-Baqarah :29 )
Dan
Allah juga telah menjelaskan dalam beberapa ayat lainnya, bahwa dia telah
menaklukkan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia. Dengan kata
lain, segala sesuatu yang ada di mka bumi tidak akan dijadikan dan ditaklukkan,
kecuali dibolehkan bagi manusia. Seandainya hal itu terlarang bagi mereka,
niscaya semuanya diciptakan bukan untuk mereka.
Dari
penegrtian istishhab yang dikemukakan para ulama diatas dapat dirumuskan
mengenai hakikat dan karakteristik istisshab tersebut, yaitu sebagai berikut :
1.
Secara meyakinkan telah berlangsung
suatu keadaan dalam suatu masa tertentu tentang tidak adanya hukum untuk
keadaan itu karena memang tidak ada dalil yang menetapkannya.
2.
Telah terjadi perubahan masa dari masa
lalu ke masa kini, tetapi tidak ada petunjuk yang menyatakan bahwa keadaan di
masa lalu itu sudah berubah. Juga tdak ada petunjuk yang menjelaskan megenai
keadaan waktu di masa kini.
3.
Terdapat keraguan tentang suatu
peristiwa ( hukum ) pada waktu kini, namun peristiwa itu berlangsung secara
meyakinkan di masa lalu dan belum megalami perubahan samapi waktu ini, oleh
karena itu peristiwa di masa lalu yang meyakinkan itu tetap diberlakukan
keberadaannya.
2.2
Kaidah dalam Istishhab dan Dasarnya
Dari beberapa uraian mengenai pengertian istishhab
diatas jelaslah bahwa istishhab itu berjalan atas prinsip keraguan yang
mengiringi keyakinan dan mengukuhkan pengalaman yang meyakinkan yang berlaku di
masa lalu ( sebelumnya ) itu. Atas dasar ini para ulama merumuskan kaidah pokok
yang populer :
اَلْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
“
Apa yang ditetapkan dengan suatu yang meyakinkan tidak dapat dihilangkan dengan
suatu yang meragukan.”
Menurut Al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Asybah wa
al-Nazhair, kaidah fiqhiyah yang pokok itu didasarkan kepada beberapa hadits
Nabi, diantaranya adalah :
1. Hadits
dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim :
إِذَاوَجَدَأَحَدُكُمْ
فِى بَطْنِهِ شَيْىًٔا فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخرَجَ مِنْهُ شَيْىًٔا اَمْ لَا
فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًىا اَوْيَجِدَرِيْحًا
“
Bila salah seorang diantara mu merasakan pada perutnya sesuatu, kemudian dia
ragu apakah ada sesuatu yang keluar dari perutnya itu atau tidak, janganlah ia
keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau mencium bau.”
2.
Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri menurut riwayat
Muslim :
اِذَا شَكَّ اَحَدُكُمْ فِى
صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى أَثَلَاثًا أُمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ
الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ
“Apabila salah seorang diantara mu ragu dalam shalatnya apakah
telah tiga rakaat atau empat rakaat, maka hendaklah ia buang yang meragukan dan
mengambil apa yang meyakinkan.”
2.3
Bentuk-Bentuk
Istishhab
Menurut
Ibnu Qayyim istishhab itu terbagi menjadi tiga bagian[2],
yaitu sebagai berikut :
a. Istishhab
al-bara’ah al-ashliyyah
Arti lughawi al-bara’ah adalah “
bersih “, dalam hal ini pengertiannya adalah bersih atau bebas dari hukum.
Dihubungkan dengan kata al-ashliyyah yang secara lughawi artinya “ menurut
asalnya “, dalam hal ini maksudnya ialah pada prinsip atau pada dasarnya,
sebelum ada hal-hal yang menetapkan hukumnya. Hal ini berarti pada dasarnya
seseoranng bebas dari beban hukum, kecuali ada dalil atau petunjuk yang
menetapkan berlakunya beban hukum atas orang tersebut. Contohnya seseorang
bebas dari kewajiban puasa syawal, karena memang tidak ada dalil yang
mewajibkannya. Demikian pula pada dasarnya seseorang itu dinyatakan tiak
bersalah sampai ada bukti yang meyakinkan bahwa ia bersalah.
b. Istishhab
sifat yang menetapkan hukum syara’
Artinya mengukuhksn berlakunya suatu
sifat yang pada sifat itu berlaku suatu ketentuan hukum, baik dalam bentuk
menyuruh atau melarang, sampai sifat tersebut mengalami perubahan yang
menyebabkan berubahnya hukum, atau sampai ditetapkannya hukum pada masa
berikutnya yang menyatakan hukum yang lama tidak berlaku lagi.
c. Istishhab
hukum ‘ijma
Artinya mengukuhkan pemberlakuan hukum yang telah
ditetapkan melalui ijma’ ulama, tetapi pada masa berikutnya ulama berbeda
pendapat mengenai hukum tersebut karena sifat dari hukum semula telah mengalami
perubahan.
2.3
Kehujjahan Istishhab
Istishhab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan
tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang
dihadapinya. Ulama ushul berkata, “ Sesungguhnya Istishhab adalah akhir tempat
beredarnya fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan
baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam
pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam
mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Seorang manusia yang hidup tetap dihukumi atas
hidupnya dan pengelolaan atas kehidupan ini diberian kepadanya sampai terdapat
dalil yang menunjukan adanya keputusan tentang kematiannya. Setiap orang yang
mengetahhui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai terdapat dalil yang
meniadakannya, dan barang siapa yang mengetahui ketiadaannya sesuatu, maka
dihukumi dengan ketiadaannya samapi terdapat dalil yang menunjuakan
keberadaannya.
Hukum yang telah berjalan menurut keadaan ini. Jadi,
kepemilikan misalnya, tetap menjadi milik siapa saja berdasarkan sebab beberapa
kepemilikikan. Maka kepemilikikan itu dianggap ada sampai ada ketetapan yang
menghilangkan kepemilikan tersebut.
Begitu juga kehalalan pernikahan bagi suami-istri
sebab akad pernikahan dianggap ada samapi ketatpan yang menghapuskan kehalalan
itu. Demikian halnya dengna tanggungan karena utang piutang atau sebab
ketetapan apa saja, dianggap tetap ada sampai ada ketetapan yang
menghapuskannya. Tanggungan yang telah dibebaskan dari orang yang terkena
tuntutan utang piutang atau ketetapan apa saja, dianggap bebas sampai ada
ketetapan yang membebaskannya. Singkatnya asal sesuatu itu adalah ketetapan
sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula samapi terdapat sesuatu yang
mengubahnya.
Istishhab juga telah dijadikan dasar bagi
prinsip-prinsip syari’at, anatara lain sebagai berikut, “ asal sesuatu adalah
ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan
yang mengubahnya. Sesuai dengan kaidah :
اَلْأَصْلُ
فِے الْأَشْيَاءِ اَلْاِبَاحَةُ
Artinya : “Asal segala
sesuatu itu adalah kebolehan”.
Pendapat yang dianggap benar adalah istishab bisa
dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum
tersebut. Istishhab itu tiada lain adalah menetapkan dalalah dalil pada
hukumnya.
2.4
Pendapat Ulama Tentang Istishhab
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa istisshab merupakan
hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud
oleh mereka.[3]
Dengan pernyatan tersebut jelaslah bahwa istishhab merupakan ketetapan sesuatu,
yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang
berbeda sampai ada dalil ynag menetapkan atas perbedaannya.
Istishhab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu
yang tidak tetap. Telah dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau
yang tidka di ketahui tempat tinggalnya dan tempat kematiannya, bahwa orang
tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai orang yang hidup sampai
adanya petunjuk yang menunjukan kematiannya.
Istishhab-lah yang menunjukan atas hidupnya orang tersebut
dan menolak dengan dugaan kematiannya serta warisan harta bendanya jga
perceraian pernikahannya. Tetapi hal itu bukanlah hujjah untuk menetapkan
pewaris dari lainnya, karena hidup yang ditetapkan menurut istishab itu adalah
hidup yang didasaran pengakuan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Secara bahasa istishhab berarti mencari hubungan
yaitu otoritas atau bukti tertentu, bebas dari kewajiban, misalnya sesuatu itu
diakui sampai dipastikan adanya pertentangan.
Menurut
istilah adalah
جَعْلُ الْحُکْمِ الثَّابِتِ فِے
الْمَاضِى بَاقِيًا إِلَى الْحَالِ لِعَدَمِ الْعِلْمِ بِالْغَيْرِ
“ Menetapkan hukum yang berlaku pada masa lalu
untuk keberlakukan masa sekarang, karena tidak adanya pengetahuan yang
merubahnya”.
Menurut
Ibnu Qayyim istishhab itu terbagi menjadi tiga, yang pertama Istishhab
al-bara’ah al-ashliyyah, yang kedua istishhab sifat yang menetapkan hukum
syara’, dan yang ketiga istishhab hukum ‘ijma,
1.1
Penutup
Demikian uraian
makalah dari kami,mohon maaf apabila terdapat kekurangan pada konteksnya,kesalahan
penulisan,maupun kekurangan-kekurangan lain.Kritik dan saran yang membangun
masih kami perlukan untuk perbaikan makalah kami di lain waktu.
1.2
DAFTAR
PUSTAKA
Syafe’i,
Rachmat, Prof. DR., MA. 2010, Ilmu Ushul
Fiqih, Bandung : Pustaka Setia,
Muslih,
Muhammad, M. Ag, 2007, Fiqih, Bogor :
Yudhistira
Syarifuddin,
Amir, Prof. Dr. H. 2011, Ushul Fiqih
Jilid 2, Jakarta : Kencana
[1] Amir
Syariffudin, Ushul fiqh jilid 2, 2008,cet 6, hal 366
[2] Amir
Syariffudin, Ushul fiqh jilid 2, 2008,cet 6, hal 370
Tidak ada komentar:
Posting Komentar