BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manajemen risiko merupakan salah satu elemen penting
dalam menjalankan bisnis perusahaan karena semakin berkembangnya dunia
perusahaan serta meningkatnya kompleksitas aktivitas perusahaan mengakibatkan
meningkatnya tingkat risiko yang dihadapi perusahaan. Sasaran utama dari
implementasi manajemen risiko adalah melindungi perusahaan terhadap kerugian
yang mungkin timbul. Lembaga perusahaan mengelola risiko dengan menyeimbangkan
antara strategi bisnis dengan pengelolaan risikonya sehingga perusahaan akan
mendapatkan hasil optimal dari operasionalnya.
Kita harus bisa menemukan kerugian potensial yang
mungkin terjadi dan mencari cara untuk menangani risiko tersebut. Dunia bisnis
pun tak luput dari ketidakpastian. Ketidakpastian dalam dunia bisnis akan
menyebabkan terjadinya risiko bisnis. Perusahaan merencanakan untuk
menggencarkan promosi produknya dengan harapan penjualanya dapat meningkat.
Dengan analisis yang mendalam diperkirakan penjualan setelah adanya promosi besar-besaran
tersebut dapat meningkat sebanyak 20%. Tetapi kenyataanya penjualan hanya dapat
meningkat 10%. Ini merupakan salah satu bentuk risiko yang terjadi dalam dunia
bisnis. Risiko dalam bisnis tidak bisa diabaikan begitu saja. Perusahaan perlu
menganalisis kemungkinan kerugian potensi dalam bisnisnya tersebut kemudian
mengevaluasi dan mencari cara untuk menanggulanginya. Dengan demikian
diharapkan bisnis yang dijalaninya dapat sukses meraih tujuan dengan mudah.
Risiko merupakan sesuatu yang pasti akan terjadi ketika kita melakukan suatu
tindakan. Risiko adalah berbagai kemungkinan yang terjadi pada periode
tertentu. Risiko sering dikaitkan dengan kerugian. Jadi risiko adalah
ketidakpastian yang mungkin melahirkan kerugian atau peluang terjadi sesuatu yang
bad outcame.
Setiap organisasi perusahaan selalu menanggung
risiko. Risiko, bisnis, kecelakaan kerja, bencana alam, perampokan, dan
pencurian, kebangkrutan adalah beberapa contoh dari risiko yang lazim terjadi
di berbagai perusahaan. Terutama perusahaan yang tidak melakukan tindakan
apa-apa, bahkan tindakan preventif pun tidak dilakukan. Perusahaan ini tidak
melakukan tindakan untuk pencegahan risiko yang akan timbul nantinya.
B. Rumusan masalah
1.
Apakah Risiko Operational, Risiko
Produksi ?
2.
Bagaimana pengukuran Risiko Operational
?
3.
Bagaimana Strategi mengelola Risiko
Barang dan Jasa ?
4.
Bagaimana mengelola Risiko Pengadaan
dengan aspek-aspek yang perlu di perhatikan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Risiko Operational.
Risiko
operational merupakan risiko yang umumnya bersumber dari masalah internal
perusahaan, dimana risiko tersebut terjadi disebabkan oleh lamanya sistem
kontrol manajemen (management controlsystem). Yang dilakukan oleh pihak
internal perusahaan. Misalnya risiko operational adalah risiko pada komputer
karena telah terserang virus, kerusakan maintenance pabrik, kecelakaan kerja,
kesalahan dalam pencatatan pembelian barang dan tidak adanya kesepakatan bahwa
barang yan dibeli dapat ditukar kembali dan sebagainya.
Risiko
operasonal dapat menimbulkan kerugian keuangan secara langsung maupun tidak
langsung dan kerugian potensial atas hilangnya kesempatan memperoleh
keuntungan. Risiko ini merupakan risiko yang melekat (inherent) pada
setiap aktivitas fungsional Bank, seperti kegiatan perkreditan (penyediaan
dana), tresuri dan investasi, operasional dan jasa, pembiayaan perdagangan,
pendanaan dan instrumen utang, teknologi sistem informasi dan sistem informasi
manajemen, dan pengelolaan sumber daya manusia.Risiko operasional bukanlah hal
baru walaupun disadari merupakan risiko yang paling akhir terdefinisikan dalam
Basel II.
Definisi
“Operational Risk” seperti digariskan dalam Bassel II Capital Accord
mendefinisikan operational risk sebagai risiko kerugian yang terjadi sebagai
akibat inadequate atau failed internal processis, people dan systems atau
sebagai akibat dari eksternal events. Meskipun memasukkan unsur legal risk
kedalamnya, Bassel II itu tidak memuat bussines, strategic, dan reputation risk
sebagai bagian dari operational risk tersebut. [1]
Definisi
risiko operasional dalam Basel II adalah termasuk risiko hukum, namun tidak
mencakup risiko bisnis, strategis dan reputasi.Menurut (Mamduh:2009) risiko
operational merupakan tipe risiko yang paling tua, tetapi yan paling sedikit
dipahami dibandingkan dengan tipe risiko lainnya. (misalkan risiko pasar
ataupun risiko tingkat bunga). Perusahaan sudah mengenali risiko operational
meskipun dengan nama yang berbeda. Sebagai contoh perusahana selalu berusaha
memperbaiki sistem, prosedur, atau proses bisnis melalui manajemen kualitas,
perusahaan memberikan training kepada karyawannya agar mereka semakin terlatih
dan semakin sedikit membuat kesalahan. Dalam konteks manajemen risiko, upaya
terseut dipandag sebagai upaya untuk mengelola atau menurunkan risiko
operational.
B. Pengukuran
risiko operational
Salah
satu teknik untuk mengukur resiko operasional adalah dengan menggunakan dua
klasifikasi, yaitu:
1. Frekuensi
atau probabilitas terjadinya resiko.
2. Tingkat
keseriusan kerugian atau impact dari resiko tersebut.
Dengan menggunakan dua dimensi tersebut, kita bisa
membuat matriks frekuensi/tingkat untuk resiko-resiko yang ada, termasuk resiko
operasional. Berikut contoh aplikasi matriks termasuk untuk gagal bayar dan
kesalahan pemrosesan transaksi.
Severity
B Gagal bayar
A Kesalahan
pemrosesan
Frequency
Bagan diatas menunjukkan bagan metriks dengan
dimensi frekuensi di sumbu horizontal dan dimensi severity pada sumbu vertical.
Resiko-resiko bisa diklasifikasi berdasarkan dimensi-dimensi tersebut.
Misalnya, resiko gagal bayar dari debitur perusahaan besar biasanya jarang
terjadi. Karena itu resiko itu diklasifikasi sebagai dengan frekuensi rendah.
Tetapi jika terjadi, kerugian yang timbul bisa sangat besar. Karena itu resiko
tersebut diklasifikasi dengan severity tinggi. Gabungan antara frekuensi rendah
dengan severity tinggi terlihat pada titik B pada bagan diatas. Sebaliknya,
kesalahan pemrosesan atau kesalahan pencatatan transaksi akan sering terjadi
(apalagi jika proses pencatatan masih secara manual). Tetapi tingkat severity
dari kesalahan tersebut tidak terlalu tinggi. Karena itu kesalahan pemrosesan
berada pada titik A. dengan proses semacam itu, kita bisa memperoleh gambaran
mengenai frekuensi dan severity dari suatu resiko, yang selanjutnya mempunyai
implikasi pada bagaimana mengelola resiko tersebut.
Tipe resiko seperti ini lebih menantang untuk
dihadapi. Jika resiko seperti ini muncul, perusahaan bisa mengalami kerugian
yang cukup besar, dan barang kali dapat mengakibatkan kebangkrutan. Tetapi
frekuensi resiko tersebut relative jarang, sehingga tidak mudah ditemui atau
dikenali oleh perusahaan. Karena itu resiko tipe ini paling sulit dipahami
karakteristiknya, dan sulit diprediksi kapan datangnya. Misalnya, Baring gagal
melakukan pengawasan terhadap trading yang diluar batas oleh salah seorang
tradernya, kemudian terjadi kerugian yang mengakibatkan kebangkrutan perusahaan
tersbut. Frekuensi resiko semacam ini relative jarang ditemui.
Tipe resiko
ini seringkali muncul tapi besarnya kerugian relative kecil. Biasanya resiko
semacam ini muncul sebagai akibat perusahaan menjalankan bisnisnya. Dengan kata
lain, resiko semacam ini merupakan konsekuensi perusahaan menjalankan
bisnisnya. Misalnya, untuk perusahaan supermarket, ada resiko shoplifting
(pencurian oleh pembeli), pencurian oleh karyawan, barang dagangan rusak karena
busuk atau karena botol pecah, resiko semacam ini lebih mudah dikenali, dan
perusahaan bisa menghitung resiko tersebut. Kemudian perusahaan bisa
menganggapnya sebagai biaya dari kegiatan bisnis, dan perusahaan bisa
memasukannya dalam komponen harga. Kebanyakan perusahaan memasukan biaya seperti itu ke dalam struktur
harga mereka. Perusahaan bisa memonitor resiko-resiko tersebut untuk memastikan
bahwa resiko tersebut masih berada pada wilayah normal. Jika resiko tersebut
bergerak melebihi batas tertentu, maka perusahaan perlu melakukan tindakan
untuk menangani resiko tersebut. Misalnya, jika frekuensi pencurian oleh
pembeli supermarket menunjukkan kecenderungan menin gkat maka manajer perlu
melakukan perbaikan. Perbaikan-perbaikan tersebut pada intinya memperbaiki
prosedur dan proses bisnis. Misalnya, pada kasus pencurian diatas, manajer
supermarket bisa meminta pembeli untuk meninggalkan tas, memasang supermarket
di supermarket, memasang barcode pada setiap produk yang dipajang (sehingga
jika tidak di lepas dan melewati tiang scanner akan berbunyi).
C.
Perubahan Karakteristik Risiko
Operational
Setiap risiko bisa berubah karateristiknya dari waktu ke
waktu. Misalkan pada jaman dulu pencatatan transaksi dilakukan secara manual (
karyawan menuliskan harga dan jumlah unit yang diperdagangkan di kertas ), cara
tersebut dapat memunculkan risiko kesalahan pencatatan. Frekuensi kesalahan cukup
sering karena karyawan sering lelah namun biasanya mengakibatkan kerugian yang
relative kecil. Sekarang ini sudah banyak cara manual seperti itu diganti
dengan pencatatan terkomputerisasi dengan demikian frekuensi kesalahan dapat
diturunkan namun akan muncul jenis risiko baru. Apabila terjadi kegagalan atau
kelemahan pada system komputer maka kerugian yang muncul akan sangat besar.
a.
Globalisasi
Era globalisasi telah memberi perubahan besar bagi konsep
bisnis pada seluruh sektor bisnis, baik financial maupun non financial,
sehingga menciptakan konsep produk dibuat untuk bisa menampung keinginan
globalisasi tersebut. Karena itu, perusahaan dituntut untuk menerapkan
manajemen yang berbasis konsep global yang secara tidak langsung mekanisme
operational perusahaan juga harus bersifat global.
b.
Otomatisasi
Otomatisasi ini menurunkan risiko yang berkaitan dengan
manusia (misal kesalahan dalam pencatatan karena kelelahan). Tetapi otomatisasi
semacam itu memunculkan risiko yang baru yaitu risiko kegagalan sistem dan semacamnya.
Risiko ini cenderung lebih sulit untuk dideteksi dan jika terjadi maka
perusahaan akan mengalami kerugian yan signifikan.
c.
Terlalu
mengandalkan teknologi
Apabila terlalu mengendalikan teknologi maka akan ada risiko
baru yang akan dialami, walaupun dengan menggunakna teknologi memudahkan dalam
membantu proses bisnis yang akan lebih cepat.
d.
Outsourcing
Outsourcing merupakan tren bisnis akhir – akhir ini.
Outsourcing berarti menggunakan jasa pihak luar untuk mengerjakan sebagian dari
pekerjaan perusahaan. Outsourcing dilakukan dengan pertimbangan efisiensi
( bisa menurunkan biaya ). Jika melakukan pekerjaan sendiri , karena
sesuatu hal ( misalkan keahlian yang tidak ada atau skala ekonomi yang
kurang ), bagi perusahaan, akan lebih menguntungkan jika menggunakan jasa
dari pihak luar untuk pekerjaan tertentu.
e.
Perubahan
budaya masyarakat
Masyrakat semakin lama semakin pandai, semakin sadar kan hak
dan kewajibannya. Kesadaran tersebut cenderung meningkatakan risiko litigasi,
dimana masyarakat akan berusaha menuntut apabila merasa dirugikan. Perubahan
budaya masyarakat bisa meningkatkan risiko gugatan hukum.
D.
Biaya
untuk risiko Operational
Untuk mengatasi risiko operational suatu perusahaan harus
membuat analisa mencakup:
a.
Menghitung
dan memetakan bentuk risiko yang sedang dan akan dihadapi
b.
Memperhitung
biaya yang harus dialokasikan menyangkut pengelolaan risiko
c.
Memutuskan
pembentukan mekanisme seperti apa yang layak diterappkan untuk mengelola risiko
d.
Memutuskan
dari mana sumberdana yang dapat dialokasikan untuk mendukung penyelesaian
operational risk ini
E. Strategi Dalam
Risiko Pengadaan Barang dan Jasa
Berhubungan dengan anggaran pemerintahan dalam sebuah kerja sama pengadaan
barang dan jasa sangat rentan dengan aspek KKN. Konsekuensinya, akan
berbenturan dengan hukum yang berlaku. Kerentanan tersebut, menjadikan hukum
dan aturan yang ditetapkan pun jadi semakin ketat untuk menghindari segala
kemungkinan tindakan KKN. Nah, bagi Anda yang terlibat dalam usaha pengadaan
barang dan jasa instansi pemerintah tentu harus mengerti seputar aturan, hukum,
dan cara mengantisipasinya agar tidak terkena risiko pidana. Bagaimanakah
caranya?
Harus selalu disadari bahwa risiko tindak pidana tidak dapat dihilangkan.
Risiko hanya dapat dikurangi kemungkinan terjadinya dengan mengimplementasikan
strategi yang tepat. Menyuap auditor bukan merupakan cara menyelesaikan masalah
yang tepat. Justru sebaliknya, akan menambah masalah. Salah satu strateginya
ialah melalui metode risk transfer atau memindahkan risiko kepada pihak
atau perusahaan lain. Penerapannya ialah dengan meminjam bendera perusahaan
lain untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa. Bagi pengelola pengadaan barang
dan jasa, strategi risk transfer dapat dilakukan dengan cara-cara
sebagai berikut.
1.
Meminta
penjelasan secara tertulis (fatwa) untuk hal-hal yang belum jelas kepada
lembaga yang kompeten dan relevan, misalnya BPK, LKPP, Mendagri, atau Menkeu.
Dengan memiliki penjelasan tertulis, risiko secara otomatis akan berpindah kepada
lembaga yang mengeluarkan fatwa tersebut.
2.
Meminta
persetujuan tertulis kepada manajemen atau lembaga yang lebih tinggi. Praktik
ini pernah terjadi pada pengadaan peralatan penyadapan di Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) melalui mekanisme Penunjukan Langsung. Hal ini dilakukan KPK
dengan meminta persetujuan presiden untuk melaksanakan pengadaannya melalui
mekanisme Penunjukan Langsung, tanpa melalui lelang. Pasalnya, jika pagunya di
atas 200 juta rupiah, aturan undang-undangnya mesti melalui sistem lelang.
Dengan demikian, KPK terbebas dari risiko tindak pidana dalam melaksanakan
pengadaan peralatan penyadapan melalui mekanisme Penunjukan Langsung tersebut.
Secara lebih lengkapnya lagi
mengenai mekanisme, aturan, dan strategi pengadaan barang dan jasa ini akan
dijelaskan dalam buku Aman dari Risiko dalam Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. Buku ini ditulis oleh Suswinarno Ak., MM untuk memberikan pemahaman yang
baik dan tepat tentang manajemen risiko pengadaan barang dan jasa pemerintah
agar bisa mengantisipasinya. Buku terbitan VisiMedia ini dibagi ke dalam enam
penjelasan pokok, yaitu mulai dari manajemen risiko, proses manajemen,
identifikasi risiko pada pengadaan barang dan jasa pemerintah, mengukur risiko
tindak pidana pada pengadaan barang dan jasa pemerintah, strategi
mengantisipasi risiko pidana, hingga tip dan trik menghadapi audit dan auditor.
F.
Resiko
Pengadaan
Dalam opini
mendefinisikan barang dan jasa, kuantitas, kualitas, waktu, tempat dan harga
akan menentukan seberapa kompleks proses yang harus dilakukan dalam mendapatkan
barang dan jasa. Seperti yang diutarakan Samsul, mana yang lebih kompleks mengukur
benda atau tindakan? Jawabannya adalah lebih mudah mengukur benda ketimbang
mengukur tindakan. Karena benda sifatnya tangible (berwujud)
sedangkan tindakan sifatnya intangible (tidak
berwujud). Dengan kerangka pikir diatas tentu lebih sederhana mendapatkan
barang dibanding mendapatkan jasa. Kerangka berpikir ini juga akan membawa kita
pada rantai logika yang sama ketika dihadapkan pada kompleksitas barang/jasa
versus penyedia. Skala kompleksitas menilai barang/jasa tentu lebih sederhana
dibanding menilai penyedianya. Mengkompetisikan banyak penyedia yang mampu
menyediakan barang adalah cara yang paling tepat.
Dalam mengenal
karakteristik penyedia, penting juga untuk mengenal Krajilc Box Method yang memposisikan
barang/jasa kedalam empat kotak berdasarkan karakteristik barang/jasa dikaitkan
dengan potensi resiko dan potensi nilai belanja. Karakteristik ini dapat
dijadikan peta dalam pengambilan keputusan penetapan metode pengadaan dikaitkan
dengan skala kompleksitas.
Barang/jasa Laverage mempunyai karakteristik resiko kecil
tapi nilai pembelian tinggi yang diutamakan adalah memaksimalkan penghematan.
Contoh: laptop berada pada pasar persaingan sempurna dimana jumlah penyedia dan
jumlah barang baik jenis maupun kuantitas tersedia di pasar secara luas dan
banyak sehingga faktor yang jadi pertimbangan hanyalah harga yang terendah.
Barang/jasa Routine adalah barang resiko rendah dengan
nilai pembelian yang rendah yang diutamakan adalah meminimalkan waktu dan
sumber daya. Contoh: alat tulis kantor, pasti diperlukan setiap tahun dalam
jumlah yang kecil dan terpecah-pecah dalam item-item kemudian dari sisi barang
dan penyedia tersedia luas.
Barang/Jasa Bottleneck mempunyai karakteristik resiko tinggi
tapi nilai pembelian rendah fokus kepada jaminan pasokan agar tidak terhenti.
Kontrak jangka panjang dengan eskalasi terpantau dan dinegosiasikan secara
berkala. Contoh : obat-obatan, bersifat urgen dalam artian kalau tidak tersedia
dalam waktu yang dibutuhkan akan mengakibatkan hambatan pada organisasi,
spesifikasi khusus dan jumlah penyedia terbatas. Nilai pembelian terbatas dan
terbagi atas item-item kecil.
Barang/jasa Critical mempunyai karakteristik resiko tinggi
dan dengan nilai pembelian yang tinggi memperhitungkan semua biaya langsung
maupun tidak langsung dan maksimalisasi pencapaian Nilai Manfaat Uang (Value for Money). Contoh: Mesin Pembangkit Tenaga
Listrik dari sisi spesifikasi sangat khusus, jumlah penyedia terbatas, bersifat
urgen dan nilai pembelian tinggi.
Dalam Peraturan
Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dikenal
beberapa metode pemilihan pada penyedia barang/jasa. Pengadaan barang, jasa
lainnya, dan pekerjaan konstruksi, terdapat beberapa metode, yakni pelelangan
umum, pelelangan terbatas, pemilihan langsung, penunjukan langsung, dan
pengadaan langsung; untuk pengadaan jasa konsultan terdapat beberapa metode,
yakni seleksi umum, seleksi sederhana, penunjukan langsung, pengadaan langsung,
dan sayembara. Metode-metode tersebut dilakukan dengan langkah-langkah yang
cukup rumit dan multitafsir. Pusing bukan. Cukup sudah.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Risiko Operasional merupakan risiko
yang umumnya bersumber dari masalah internal perusahaan, dimana risiko itu terjadi
disebabkan oleh lemahnya sistem kontrol manajemen (management contro sytem)
yang dilakukan oleh pihak internal perusahan.
Untuk menghitung
kerugian yang diharapkan jika risiko tertentu muncul dapat menggunakan kerangka
probabilitas ( frekuensi ) dan severity. Rumusnya adalah: Kerugian yang
diharapkan = frekuensi ( probabilitas ) x severity ( besarnya kerugian )
Ada beberapa faktor
yang mampu memberi pengaruh pada terbentuknya resiko operasional, yaitu: risiko
pada computer, kerusakan peralatan pabrik, kecelakaan kerja, kesalahan dalam
pembukuan secara manual, kesalahan pembelian dan tidak ada kesepakatan bahwa
barang yang dibeli dapat ditukar kembali, pegawai outsourcing, globalisasi
dalam konsep dan produk.
Factor
yang menyebabkan perubahan karateristik
resiko operasional, yaitu: globalisasi,
otomatisasi, Terlalu Mengandalkan Teknologi, Outsourcing,
Perubahan Budaya Masyarakat.
Terimakasih, sangat membantu tugas kuliah saya :)
BalasHapusHehe panjang bener ya. Ini udah saya resume
BalasHapus